Agus Yudhoyono dan Reformasi TNI

Reformasi TNI sedang hangat dibicarakan saat ini. Terutama karena berhubungan dengan ide membawa kembali "dwifungsi TNI" ala masa Orde Baru. Pada saat bersamaan, muncul kejadian mundurnya AHY yang punya karir cemerlang di TNI untuk terjun ke dunia politik. Berikut sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Sabartain Simatupang. Penulis adalah akademisi Universitas Pertahanan Indonesia dan alumnus magister KSKN UI. Tulisan ini terbit di Harian Analisa.



Agus Yudhoyono dan Reformasi TNI
Oleh: Sabartain Simatupang

Pencalonan Mayor Infanteri Agus Harimurti Yudhoyono sebagai bakal Gubernur DKI telah mengagetkan persepsi publik Jakarta. Menanggapi hal ini sikap resmi TNI dengan tegas disampaikan oleh Panglima TNI. Sesuai peraturan perundangan, perwira TNI harus mundur pada saat pencalonan pilkada 2017. Dalam perhelatan pilkada nanti ditegaskan bahwa TNI tetap bersikap netral. Lalu pertanyaannya adalah apakah yang menarik dari pencalonan Agus tersebut? Adakah implikasinya bagi komitmen kelanjutan reformasi TNI?

Reformasi internal TNI

Sudah menjadi komitmen semua pihak sejak transisi pemerintahan dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi bahwa “TNI seharusnya tidak Berpolitik”. Bagi TNI hal ini sudah menjadi bagian dari kebijakan internalnya pada awal masa Reformasi. Sejak itu TNI secara kelembagaan melarang setiap prajurit TNI untuk kembali berpolitik. Reformasi internal TNI yang dilaksanakan hampir dua dasawarsa ini pada prinsipnya sudah banyak merespon dinamika tuntutan masyarakat.

Saat ini pihak TNI terus berupaya melanjutkannya secara bertahap, meliputi baik aspek struktural maupun kultural. Upaya gradual ini bertujuan untuk mewujudkan postur TNI yang solid, handal dan profesional. Reformasi aspek struktural sudah dilaksanakan melalui pembenahan organisasi, doktrin, pendidikan dan latihan serta pemenuhan kesejahte­raan. Sesungguhnya reformasi struktural sulit diwujudkan secara optimal, bila tidak didukung oleh reformasi kultural.

Membangun kultur TNI yang demo­kratis sudah merupakan keputusan dari UU RI No.34/2004 tentang TNI. Ditandaskan bahwa TNI harus mengikuti “kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil dan hak azasi manusia”. Dengan demikian tuntutan profesionalisme TNI hendak­nya diwujudkan dalam suatu kultur yang demokratis. Komitmen inipun sebenar­nya sudah diupayakan sejak awal reformasi internal TNI hingga sekarang. Hanya saja yang menjadi persoalannya ada­lah kelanjutan program penuntasan reformasi ini masih terkendala pada reali­sasi penataan kultur TNI.

Reformasi kultural dimaksudkan untuk mewujudkan karakter prajurit TNI yang profesional dan bermoral sesuai Sapta Marga, Delapan Wajib TNI, Doktrin TNI serta ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini tidak mudah diwujudkan begitu saja, karena kendalanya terletak pada perubahan tingkah laku prajurit TNI. Dalam UU TNI tersebut, ketentuan yang relevan menjadi ukuran bagi TNI untuk dapat membangun kultur yang demokratis adalah “prajurit TNI tidak boleh berpolitik praktis”. Implementasinya tidak sekadar sampai pada pember­lakuan normatif dalam kehidupan kedinasan semata. Tantangan berikut­nya terletak pada konsistensi para perwira untuk dapat memper­tahankan komitmen ini.

Banyak pendapat di kalangan sebagian penggiat LSM yang meragukan kemungkinan ini. Mengingat begitu mendalamnya watak represif sebagian “oknum prajurit” selama rezim Orde Baru. Apalagi doktrin kepemimpinan internal TNI yang hierarkis dianggap mendukung sikap yang represif tersebut. Untuk mengubah karakter yang demikian, agar tidak lagi bersikap represif dan otoriter terhadap lingkungan masyarakatnya, maka penanaman nilai-nilai dan prinsip demokrasi tersebut mutlak diberikan kepada prajurit TNI secara dini melalui pembinaan doktrin, organisasi dan pendidikan/latihan TNI.

Manuver politik Agus HY

Sebenarnya harapan TNI setelah menjalani proses reformasi jelas menginginkan agar diposisikan sebagai TNI yang profesional. Implikasinya memang secara kelembagaan TNI tidak boleh lagi berpolitik. Politik TNI adalah politik negara dalam rangka mengamankan kewibawaan, kedaulatan dan konstitusi negara. Dengan demikian profesionalisme TNI harus diwujudkan oleh setiap prajurit TNI dalam pelaksanaan tugas dan tanggung­jawabnya masing-masing. Komitmen dan konsistensi peran ini secara hierarkis berada pada pundak para perwiranya.

Oleh karena itulah penampilan keberhasilan reformasi internal TNI terletak pada performa perwiranya. Peran dan sepak terjang perwira TNI senantiasa disorot masyarakat. Harapan masyarakat agar TNI tidak berpolitik lagi, tercermin pada komitmen perwiranya untuk menjaga profesio­nalisme tersebut. Bila pada masa Orde Baru dikenal adanya “perwira politik”, mentalitas yang demikian hendak dirubah menjadi “perwira profesional”. Tantangan yang terberatnya untuk mewujudkan profesionalisme TNI ini terletak pada perubahan kultur ini. Seyogianya memang penampilan perwira produk reformasi tentunya harus berbeda dengan mentalitas perwira seniornya di masa Orde Baru.

Sebagai akademisi kita menaruh atensi pada fenomena manuver Agus HY sebagai kandidat pilgub DKI. Secara personal sebagai mantan perwira menengah TNI, Agus HY berhak secara politis setelah menanggalkan status keprajuritannya. Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan, sebagai mantan perwira profesional TNI (terbukti dari karirnya di satpur yonif TNI AD) apakah Agus HY akan menunjukan “keberhasilannya” di dunia politik? Apakah feno­mena manuver Agus HY akan juga menjadi “representasi” dari keberhasilan refor­masi kultural perwira TNI pasca Orde Baru? Sejujurnya yang kita kuatirkan adalah jangan sampai Agus HY justru “mewarisi” tradisi mentalitas dan se­pak terjang “perwira politik” Orde Baru.

Sikap arif politisi?

Dalam kaitan ini, komitmen Presiden Jokowi-JK dan DPR untuk mendorong “agar TNI benar-benar menghargai demokrasi” perlu diangkat kembali. Hal krusial bagi TNI untuk meningkatkan keseri­usannya menghargai demokrasi, antara lain dengan pembuktian netralitas TNI dalam setiap pemilu dan pilkada. Keputusan pelaksanaan netralitas TNI ini jelas mendapat tantangan yang serius, baik secara internal maupun eksternal.

Secara internal jelas tantangannya menyangkut konsistensi sikap mental para perwira pimpinan TNI dalam menyikapinya. Sedangkan secara eksternal, netralitas TNI mendapat tantangan dari sikap politik elite sipil yang bertendensi “menarik-narik” TNI ke kancah politik.

Keinginan para penggiat LSM agar TNI tetap menegakkan prinsip netralitasnya dalam pelaksanaan pilkada serentak tahun 2017 yang akan datang pa­tut dihargai. Hanya saja sepengeta­huan penulis, pimpinan TNI secara res­mi tidak pernah menyampaikan usulan “tidak perlu mundur pada saat pencalonan Pilkada” ke DPR (dalam pembahasan revisi UU Pilkada yang lalu).

Apalagi kalau dikatakan bahwa “usulan tersebut marupakan keinginan TNI”, tentunya hal ini sangat apriori. Dikuatirkan sinyalemen demikian dapat menggiring opini masyarakat kepada sikap yang keliru dan antipati terhadap citra TNI. Sesungguhnya dalam pembahasan revisi UU Pilkada tersebut, isue ini jelas merupakan “komoditas politik” sebagian anggota DPR, dan “bukanlah keinginan TNI!”. Buktinya pada saat pencalonan pamen TNI terjun dalam pilkada kali ini (kasus Agus HY), dengan tegas Panglima TNI mengeluarkan STnya yang mengharuskan yang bersangkutan mundur.

Kebijakan pemerintah tentang Reformasi Internal TNI yang menegaskan “agar TNI tidak berpolitik”, secara konsepsional hendaknya dipahami dalam konteks penataan hubungan sipil-militer dalam suatu negara demokrasi. Dalam hal ini Samuel P Huntington (1957) menegaskan perlu kontrol sipil yang obyektif (objective civilian control), dengan mensyaratkan secara seimbang antara “minimalisasi intervensi militer dalam politik” dan “minimalisasi intervensi politik dalam militer”.

Oleh karena itu untuk tetap menjaga “netralitas TNI dalam pelaksanaan Pil­kada” nantinya, harus diawali dari komitmen politisi di DPR/Orpol untuk ti­dak menggiring TNI masuk ke kancah politik praktis.

Fenomena manuver politik Agus HY patut menjadi kajian yang menarik ke depan, terutama implikasi terhadap kelanjutan reformasi internal TNI. Proses pencalonan dan kampanye politiknya masih berjalan dalam waktu dekat ini. Pertanyaannya apakah motif pencalonannya merupakan “hasil manuver politisi” partai pendukung (PD, PPP, PAN dan PKB) atau memang komitmen kesadaran personal Agus HY semata sebagai mantan perwira TNI?

Jawaban terhadap pertanyaan kritis ini akan menunjukan sejauh mana intervensi para politisi telah menjaga komitmen TNI mewujudkan reformasi kulturalnya ke depan. Jelas secara hipotesis fenomena manuver Agus HY yang mengagetkan ini akan berdampak terhadap kelanjutan proses reformasi kultural TNI nantinya.
Agus Yudhoyono dan Reformasi TNI Agus Yudhoyono dan Reformasi TNI Reviewed by Blog Admin on 07.19 Rating: 5