Agus-Sylvi, Membalik Kelemahan Menjadi Kekuatan (1)

Ada beberapa kelemahan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni berdasar persepsi masyarakat umum. Sesuatu yang sangat wajar dan alamiah karena segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang sempurna. Segala hal memilki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Begitu juga dalam kontestasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 ini.


Pemenang yang akan muncul adalah pihak yang mampu memaksimalkan kekuatannya dan membalik kelemahan yang ada menjadi kekuatan. Tidak mudah melakukan hal tersebut. Diperlukan kebesaran hati dan jiwa kepemimpinan yang hebat untuk melakukannya.

Secara umum, kelemahan pasangan Agus-Sylvi yang dipersepsikan masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut:
  • Pertama, Agus dianggap terlalu muda dan tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk memimpin pemerintahan DKI Jakarta yang begitu besar dan kompleks. 
  • Kedua, lemahnya Agus karena dia hanyalah "boneka" orangtuanya yang berambisi membangun dinasti keluarga Yudhoyono. 
  • Ketiga, Agus memiliki karakter warisan SBY yang santun dan lambat, ini dianggap tidak akan cocok dengan kondisi Jakarta yang memerlukan pemimpin keras dan lugas. 
  • Keempat, asosiasi Agus dengan SBY dan Partai Demokrat yang kuat dianggap akan membuatnya terjebak dalam jaringan korupsi yang tergolong parah di partai biru tersebut.
Menarik untuk membahas poin-poin tersebut dan mencari titik-titik yang bisa membalikkan semuanya menjadi suatu kekuatan bagi pasangan Agus dan Sylvi dalam menarik suara rakyat Jakarta. PR besar bagi tim suksesnya, termasuk Agus sendiri secara pribadi. Ini adalah kerja komunikasi politik yang berat dalam waktu sangat singkat 100an hari saja.

Terlalu Muda & Minim Pengalaman

Jika terpilih, pada saat dirinya dilantik di akhir 2017 nanti Agus sudah berusia 39 tahun. Bukan usia yang muda lagi. Bahkan kita sudah melihat cukup banyak uban di rambutnya saat ini. Artinya, pada saat memimpin Jakarta, usianya berada di periode matang-produktif baik secara fisik maupun mental. Secara psikologis, rentang usia tersebut juga adalah masa maksimal dimana seseorang bisa bertindak bijak namun pada saat bersamaan tetap kreatif serta dinamis.

Kita harus tahu bahwa Ali Sadikin, gubernur yang dianggap paling sukses di Jakarta, diangkat pertama kali untuk memimpin Jakarta pada tahun 1966 pada saat usianya 39 tahun juga (beliau lahir tahun 1927). Suatu kebetulan yang menarik untuk dipikirkan. Bang Ali memimpin Jakarta selama 11 tahun hingga tahun 1977. Contoh lain, Ridwan Kamil dilantik menjadi Wali Kota Bandung pada tahun 2013 di usia 42 tahun (lahir tahun 1971). Kang Emil ini dipuji karena prestasinya dan kedekatannya dengan rakyat selama memimpin Bandung. Ridwan Kamil sebelumnya adalah seorang arsitek profesional dan dosen di ITB.

Harus diakui bahwa penampilan fisik Agus yang awet muda dengan fisik prima membuatnya terlihat jauh lebih muda dibanding usia aslinya. Biasanya, pimpinan yang berhadapan dengan kondisi seperti ini akan berusaha membuat dirinya "tampak tua/senior" dengan menumbuhkan kumis atau berpakaian ala orang tua. Tujuannya agar mendapat "respect" dan "dituakan" oleh orang-orang di sekitarnya. Karena tampak terlalu muda bisa dianggap sebagai aspek negatif dari seorang pemimpin pemerintahan.

Namun, ternyata seorang Agus Yudhoyono tidak memilih jalan itu. Dia justru tampil "anak muda banget". Tidak ada kekuatiran sedikitpun bahwa daya tariknya ke kalangan pemilih yang concern dengan senioritas dan pengalaman bisa berkurang. Lihat saja gaya jas yang dipakainya di pidato politk 30 Oktober 2016 lalu, sangat anak muda. Dia tidak menggunakan jas mode resmi, tetapi justru gaya anak muda. Ingat juga aksinya melompat dari atas panggung ke para penontonnya.

Apakah pilihan gaya seperti itu merupakan kelemahan atau justru kekuatannya? Harus diakui bahwa paradigma masyarakat dan stereotipe yang tertanam di pikiran para pemilih sangat sulit diubah. Apapun strategi yang dipilih, hal itu pasti akan ada positif dan negatifnya.

Namun, kita bisa lihat hal tersebut dari sisi positif. Jiwa muda Agus itu justru menunjukkan spirit yang tinggi, pribadi yang dinamis dan terbuka, serta masih bersih dari berbagai pengaruh buruk dunia politik. Itu adalah poin-poin idaman bagi pemimpin Jakarta di masa milenial seperti saat ini.

Selanjutnya, dari sisi pengalaman karier yang juga dianggap masih sangat minim. Pengalaman 16 tahunnya di militer yang luas dan cemerlang dianggap belum cukup dan tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan pemimpin Jakarta.

Disinilah bermain faktor cawagub Sylviana Murni yang berumur 20 tahun lebih tua dari Agus. Dia telah berpengalaman 30 tahun lebih menjadi birokrat di Pemda DKI Jakarta. Sylvi adalah walikota perempuan pertama, deputi gubernur wanita pertama, cawagub wanita pertama, dia juga seorang guru besar/profesor. Kehadirannya diharapkan mampu menutup lubang yang dianggap kelemahan Agus. Dengan semangatnya, Sylvi juga dianggap mampu menciptakan chemistry yang baik dalam pasangan yang dijuluki "dynamic duo" ini.

Dari sisi pengalaman karier ini, kita tidak boleh lupa bahwa Gubernur Jakarta sebelumnya didominasi penjabat dari kalangan militer. Ali Sadikin yang flamboyan namun tegas dan sangat merakyat adalah seorang militer Angkatan Laut. Kita juga harus ingat bahwa kawah Candradimuka terbaik dalam mencetak pemimpin handal di negeri ini adalah di lingkungan TNI/ABRI. Pemimpin-pemimpin hebat negeri ini sangat banyak yang berasal dari sana. Akademi Militer dianggap sekolah terbaik di Indonesia dalam mencetak leader dengan kualitas terbaik, dan Agus adalah lulusan terbaik dari akademi terbaik itu.

Agus dipersepsikan memiliki leadership skill yang tinggi dengan kombinasi intelektualitas dan latar belakang pendidikan dan pengalamannya di militer nasional dan internasional. Namun dari sisi technical skill untuk menjadi seorang gubernur dianggap sangat minim.

Sebagai catatan, seorang gubernur adalah jabatan yang berskala leader, bukan manager. Seorang leader membutuhkan lebih banyak leadership skill dibanding technical skill. Sementara seorang manager sebaliknya. Dalam scope Pemda DKI, level seperti Walikota dan Kepala Dinas lah yang memerlukan lebih banyak porsi technical skill dibanding gubernurnya.

Perlu jadi catatan kita semua bahwa technical skill seperti dalam hal keuangan, administrasi, dll adalah hal-hal yang bisa lebih mudah dipelajari. Sementara kepemimpinan tidak bisa dipelajari dengan gampang. Agus diakui memiliki karakter "fast learner", ini sangat mendukung tekadnya untuk belajar keras dan secepat mungkin dalam menguasai kompetensi teknis yang dibutuhkan sebagai gubernur. Baca ulasan "Agus Yudhoyono Belajar Sangat Cepat dalam 38 Hari".

Hal lain yang mendukung Agus adalah karakter kepemimpinannya yang kuat. Dia adalah tipikal pemimpin yang mampu merangkul anak buah, memaksimalkan kerja tim, serta mendapatkan dukungan dan kesetiaan anggota. Semua itu adalah kekuatannya sebagai komandan lapangan di TNI.

Kita ketahui bahwa pekerjaan-pekerjaan yang bersifat technical dalam organisasi yang sudah mapan seperti Pemda DKI Jakarta telah memiliki sistem kerja dan SOP yang rapi, begitu pula pengaturan tupoksinya dalam struktur resmi organisasi. Leader yang baik akan memanfaatkan teamwork dalam memutar roda operasional organisasinya. Pemimpin yang smart akan menggunakan sistem dan pengawasan melekat untuk mengamankan institusinya dari penyelewengan. Bukan mengandalkan kekuatan individunya untuk mengontrol seluruh lapisan organisasi. Siapapun tidak akan mampu melakukannya.

Mungkin contoh kejadian sang gubernur petahana yang ngotot ingin tidak cuti kampanye bisa menjadi perbandingan. Dia kuatir bahwa kebijakan dan program yang sudah dibuatnya akan tidak berjalan di bawah komando anak buahnya atau pejabat sementaranya. Ini fenomena sangat menarik dari sisi ilmu manajemen. Pemimpin yang baik harus bisa dengan tenang meninggalkan pekerjaannya karena telah terbangun sistem yang kuat serta tim yang solid dan setia pada garis yang sudah disepakati dan ditetapkan. Itu bukti kaderisasi berjalan, bukti sang pemimpin adalah pengatur yang mumpuni. Yang terjadi dengan petahana adalah sebaliknya.

Terakhir, soal pengalaman berpolitik. Apakah minimnya pengalaman politik AHY mempengaruhi kesanggupannya menjadi pelayan rakyat Jakarta?

Pertama, ilmu politik kental diajarkan di pendidikan militer, juga saat Agus mengambil S2 yang dua diantaranya berkaitan erat dengan public policy. Kedua, jangan lupakan peran para mentor politik seniornya dari partai pendukung, dan terutama dari inner circle nya SBY dan Ibas. Namun Agus harus sangat berhati-hati melangkah dalam wilayah ini karena partai yang ada sekarang sarat track record negatif dalam hal korupsi. AHY harus camkan betul bahwa potensi karirnya masih panjang dan sangat mungkin sampai di titik RI-1. Tergelincir sedikit saja di area ini akan membuatnya cacat di mata rakyat.

Akhirnya, apakah kita masih berpikir AHY sebagai calon gubernur yang terlalu muda dan minim pengalaman? Semoga penjabaran diatas bisa membantu kita berpandangan lebih terbuka.

(Bersambung)

Agus-Sylvi, Membalik Kelemahan Menjadi Kekuatan (1) Agus-Sylvi, Membalik Kelemahan Menjadi Kekuatan (1) Reviewed by Blog Admin on 23.36 Rating: 5