Kontroversi BLT (Bantuan Langsung Tunai) di DKI Jakarta

BLT kembali dibicarakan hangat dalam masa kampanye Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017. Pasangan Agus-Sylvi menempatkan program ini di urutan pertama dari 10 Program Unggulan mereka. BLT populer di era Presiden SBY, dianggap sukses oleh sebagian pihak, sementara banyak pihak juga yang tak henti-henti mengkritiknya.



Bantuan pemerintah terhadap kaum tak mampu di negeri-negeri yang menganut prinsip ekonomi bebas adalah hal sangat jamak dilakukan. Hal ini dikarenakan ekonomi pasar liberal selalu menghasilkan segmen masyarakat yang terpuruk di segmen bawah. Sebagai contoh di negeri demokrasi yang mengimplementasikan liberalisme penuh seperti di Amerika Serikat, program seperti ini selalu ada. Program sosial di Amerika Serikat dilakukan dalam bentuk subsidi kesejahteraan yang dirancang untuk membantu kebutuhan penduduk. Program kesejahteraan federal (nasional) dan negara bagian yang dimaksud termasuk bantuan tunai, kesehatan dan bantuan medis, bantuan pangan, subsidi perumahan, subsidi energi dan utilitas, pendidikan dan bantuan anak, dan subsidi dan bantuan untuk layanan dasar lainnya.

Program yang ada di negara Paman Sam ini bervariasi dalam persyaratan dan siapa yang berhak mendapatkannya dan disediakan oleh berbagai organisasi di tingkat federal, negara bagian, lokal dan swasta. Pemerintah membantu untuk menyediakan uang tunai, makanan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan uang untuk warga AS, diantaranya melalui bantuan pendidikan dasar dan menengah, subsidi pendidikan perguruan tinggi, asuransi untuk penganggur karena disabilitas, subsidi bagi pekerja dan upah rendah yang memenuhi syarat, subsidi untuk perumahan, program bantuan nutrisi tambahan, pensiun untuk orang yang berhak dan program asuransi kesehatan yang mencakup pegawai pemerintah.

Update (19 Desember 2016): Berita di headline New York Times berjudul "Free Cash in Finland. Must Be Jobless" kembali meneguhkan pola bantuan langsung di suatu negara. Bahkan laporan itu menyebut bahwa pola penyediaan "universal basic income" berbentuk tunai seperti ini semakin banyak dilakukan di berbagai negara. Intinya adalah memberikan anggota masyarakat yang betul-betul tidak beruntung fasilitas dasar yang merupakan haknya sebagai warga negara. Bentuk paling realistis adalah uang tunai yang dapat digunakan sesuai kebutuhan riil masing-masing dari mereka. Di Finlandia syaratnya adalah penerima harus seorang penganggur (jobless). Orang-orang seperti ini memang dalam kondisi sangat membutuhkan bantuan langsung, jika masih diberi "pancing" kemungkinan mereka akan kesulitan menggunakannya untuk mencari "ikan", padahal kebutuhan dasar seperti pangan sudah sangat mendesak untuk didapatkan.

Indonesia juga memiliki banyak program seperti ini. Prinsipnya adalah memberi bantuan agar kaum yang tidak beruntung di dalam sistem perekonomian dapat bertahan dan bahkan diangkat agar bisa mandiri. Suntikan bantuan ini juga sebagai bagian dari stimulus mendorong roda ekonomi agar uang yang dikucurkan ke masyarakat bisa berputar dan memajukan tingkat perekonomian. Pemerintahan Presiden Jokowi pun melakukannya dengan menggunakan istilah "bantuan tunai bersyarat".

Namun memang dalam dunia perpolitikan masa kini yang begitu riuh dan sensitif, bantuan semacam ini dengan cepat disantap oleh publik sebagai kiat politik untuk tujuan tertentu. Memang mudah sekali mengasosiasikan inisiatif seperti ini sebagai sesuatu yang memiliki agenda tersembunyi tertentu.

Demikian juga di Pilkada Gubernur DKI Jakarta ini. Banyak pihak yang memuji Agus-Sylvi karena memang dalam kenyataannya Jakarta masih sangat senjang kesejahteraan masyarakatnya, yang super kaya banyak, namun segmen rakyat yang untuk makan esok hari susah juga banyak. Sementara pihak yang kontra dengan mudah meluncurkan kritik bahwa program Agus-Sylvi ini hanya bagian dari trik politik memenangkan pemilih di segmen ekonomi terbawah.

Menarik untuk melihat pengalaman Brazil yang tergolong berhasil menjalankan program sejenis. BLT di Brazil dikenal sebagai Bolsa Familia atau hibah keluarga, yang diakui telah menurunkan angka kemiskinan sekitar 12%-18%, sejak dilaksanakan sekitar 2003 sampai 2009 dengan terus menerus dievaluasi dan diperbaiki. Bolsa Familia merupakan bantuan langsung tunai untuk memerangi kelaparan, membantu pendidikan, dan membantu kesehatan masyarakat paling miskin. Baca ulasannya di Kompasiana. Program ini bisa dijadikan rujukan Agus-Sylvi untuk dapat menjalankan program ini jika menang kelak dan membawa hasil yang sebaik-baiknya sesuai sikon riil di Jakarta.



Perlu diluruskan juga tentang klaim gubernur petahana yang menyatakan bahwa program sosial KJP "lebih dahsyat" dari BLT ala SBY. Jika yang dibandingkan adalah jumlah uangnya Rp 150 ribu vs Rp 600 ribu, maka jelas perbandingannya tidak apple to apple. SBY memberikan BLT untuk Indonesia secara nasional dan bukan hanya di 1 provinsi seperti DKI Jakarta yang merupakan provinsi terkaya di Indonesia. Republik Indonesia vs Provinsi DKI Jakarta dilihat dari pendapatan per kapita memiliki perbandingan 1:3. Lihat data berikut ini.

Jika dilihat dari metode pemberiannya, ada perbedaan karena yang pertama diberikan tunai, sementara lainnya diberikan dalam bentuk saldo di KJP. Ini tentu akan terus berkembang sesuai kondisi. Dalam scope nasional, sangat sulit memberikan bantuan uang secara digital di bank, namun di Jakarta hal itu memungkinkan. Perlu kreatifitas dan usaha keras agar sistem yang dipakai benar-benar bisa mencapai tujuan menurunkan angka kemiskinan absolut di masyarakat, yaitu sebagian saudara kita yang untuk makan sehari-hari saja kesulitan.

Yang terpenting, sebagai anggota masyarakat kita semua harus berbahagia karena para pemimpin kita saat ini sedang berlomba-lomba menggunakan segala kemampuan dan kreatifitasnya untuk membantu seluruh rakyat Jakarta agar dapat sejahtera secara merata, tanpa kesenjangan.

Sumber: Wikipedia
Kontroversi BLT (Bantuan Langsung Tunai) di DKI Jakarta Kontroversi BLT (Bantuan Langsung Tunai) di DKI Jakarta Reviewed by Blog Admin on 15.51 Rating: 5